Oleh: Dikyanto Oto
(Ketua Umum HMI Cabang Pohuwato)
Sejarah mencatat bahwa lahirnya bangsa Indonesia bukan tanpa alasan, 80 tahun lalu, bangsa ini berdiri, Soekarno dengan lantang menyebut bahwa kemerdekaan bukanlah akhir, melainkan jembatan emas menuju kesejahteraan.
Namun, setelah 8 dekade, pertanyaan mendasar perlu diajukan: benarkah rakyat sudah benar-benar merdeka atau justru kita masih terjerat oleh bentuk penjajahan baru, yang kini bernama Oligarki?
Kemerdekaan yang Belum Tuntas
Merdeka seharusnya rakyat berdaulat atas tanahnya, menikmati hasil kekayaan alamnya, dan hidup dalam keadilan sosial. Namun, kenyataannya, sektor-sektor vital bangsa dikuasai oleh segelintir orang.
Pertambangan, perkebunan, hingga proyek strategis negara, sering kali hanya menguntungkan elite politik dan pengusaha yang memiliki akses kekuasaan dan modal.
Ketimpangan sosial semakin nyata. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat bahwa 1% kelompok terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 45% kekayaan nasional. Artinya, 99% rakyat Indonesia hanya berebut sisa yang kecil. Ini adalah paradoks kemerdekaan, rakyat merdeka di atas kertas, tetapi terjajah dalam praktik sosial-ekonomi-politik.
Politik yang Dikuasai Segelintir Elite
Politik di Indonesia saat ini semakin jauh dari cita-cita demokrasi rakyat. Pemilu yang seharusnya menjadi pesta rakyat berubah menjadi arena transaksi oligarki.
Kandidat yang maju adalah mereka yang memiliki modal besar, sementara rakyat hanya dijadikan komoditas suara lima tahunan.
Lembaga legislatif yang mestinya menjadi wakil rakyat sering terkooptasi oleh kepentingan partai dan pemodal. Kebijakan publik pun kerap disusun bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan berdasarkan kepentingan korporasi besar.
Tak heran, banyak regulasi tentang pertambangan, investasi, dan proyek pembangunan justru mengorbankan masyarakat kecil.
Ekonomi Rakyat yang Terpinggirkan
Petani kehilangan lahan, nelayan kehilangan laut, dan masyarakat adat kehilangan hutan. Inilah realitas pahit 80 tahun kemerdekaan. Program pembangunan sering kali tidak berpihak pada ekonomi rakyat, melainkan pada investasi besar.
Akibatnya, rakyat hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri. Sementara masyarakat lokal hanya menerima dampak kerusakan lingkungan, rusaknya lahan pertanian, dan hancurnya sumber air bersih. Ironisnya, praktik ini diduga melibatkan oknum pemodal yang punya kedekatan dengan penguasa.
Oligarki Sebagai Bentuk Penjajahan Baru
Jika dulu pembangunan dilakukan dengan cara penjajahan oleh bangsa asing dengan senjata, kini penjajahan dilakukan oleh oligarki dengan kekuasaan, uang, dan regulasi.
Mereka menguasai politik, mengendalikan ekonomi, dan membungkam rakyat dengan dalih pembangunan. Oligarki adalah wajah penjajah modern yang lebih berbahaya, karena beroperasi dengan legalitas formal.
Penjajahan model ini sering tidak disadari, padahal dampaknya jauh lebih menghancurkan kedaulatan bangsaa.
Tugas Generasi Muda
Kini generasi muda terutama Mahasiswa harus menjadi agen penting dalam melakukan perlawanan terhadap oligarki. Kita tau bersama bahwa (Oligarki) di Indonesia kian menancapkan kuku kekuasaannya.
Kekayaan dan kebijakan publik dikuasai oleh segelintir elite, sementara rakyat hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Dalam kondisi ini, generasi muda tidak boleh sekadar menjadi pelengkap penderitaan rakyat.
Generasi muda harus membangun kesadaran kritis, harus berani membongkar ilusi pembangunan yang hanya menguntungkan elite. Melalui diskusi, kajian, dan literasi, kita perlu menghidupkan kembali tradisi intelektual yang kritis terhadap setiap kebijakan yang timpang.
Generasi muda harus melawan budaya apatis, oligarki bertahan karena rakyat diam. Generasi muda mesti menggerakkan solidaritas sosial, memutus sikap masa bodoh, dan menyalakan api kepedulian agar suara rakyat kecil tidak terkubur oleh gemuruh kepentingan penguasa dan pengusaha kapital.
Generasi muda tidak boleh takut pada labelisasi atau intimidasi. Bung Karno pernah berkata, “Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Dalam konteks hari ini, tugas pemuda adalah mengguncangkan singgasana oligarki agar kemerdekaan tidak lagi menjadi paradoks, tetapi benar-benar menghadirkan keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Tentunya dari hal tersebut kita harus melihat kembali bahwa 80 tahun kemerdekaan seharusnya menjadi momen refleksi besar, apakah kemerdekaan ini benar-benar milik rakyat atau hanya milik segelintir elite? Jika jawabannya masih yang kedua, maka tugas kita belum selesai.
Kemerdekaan harus diperjuangkan kembali bukan dengan bambu runcing, tetapi dengan konsolidasi, kesadaran kritis, dan gerakan sosial yang kuat. (Merdeka bukan hadiah, tapi tanggung jawab. Dan tanggung jawab itu ada di pundak kita hari ini)