Oleh: Rizki H. Detuage (Mahasiswa Atinggola)
Hidup dengan keluhan yang sama. Permasalahan akses jalan yang terjadi di Desa Posono, Buata, dan Tombulilato, Kecamatan Atinggola, bukan lagi sebuah isu baru, tetapi sudah menjadi luka lama yang terus dibuka tanpa ada penyembuhan.
Sudah lebih dari satu dekade masyarakat di tiga desa ini bersuara, mengeluhkan kondisi jalan yang rusak dan nyaris tak layak dilalui, padahal ini adalah satu-satunya jalur penghubung menuju pusat kecamatan. Namun, hingga kini, perbaikan yang diharapkan belum juga terwujud.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, ironisnya, Desa Buata dan Tombulilato justru dikenal sebagai pusat kegiatan budaya yang punya daya tarik tersendiri, seperti tradisi “Mandi Safar” dan perayaan Lebaran Ketupat.
Dua momen ini tiap tahun mampu mengundang ratusan bahkan ribuan orang. Desa Buata setiap tahunnya menjadi tuan rumah pelaksanaan tradisi Mandi Safar, sebuah kegiatan budaya dan religius yang menyedot perhatian masyarakat, tidak hanya dari Atinggola tetapi juga dari luar daerah.
Begitu pula di Tombulilato, perayaan Lebaran Ketupat setiap tahun menjadi magnet bagi masyarakat lokal maupun luar daerah.
Potensi ekonomi dan budaya yang begitu kuat sayangnya tidak ditopang oleh infrastruktur yang memadai. Bukannya mendukung, kondisi jalan yang rusak malah menjadi penghambat utama dalam mengembangkan potensi daerah.
Stop Seremonial dengan Alibi Kepedulian
Kondisi infrastruktur jalan di Desa Buata dan Tombulilato yang rusak parah adalah ironi menyakitkan bagi masyarakat setempat.
Lebih memprihatinkan lagi, wilayah ini bukanlah desa terpencil tanpa potensi. Justru sebaliknya, Buata dan Tombulilato dikenal luas sebagai pusat kegiatan budaya dan keagamaan yang mengakar kuat.
Namun, potensi besar itu seolah tidak berarti di mata para pengambil kebijakan. Setiap tahun, pejabat daerah termasuk tokoh-tokoh politik penting datang menghadiri acara-acara ini, menikmati prosesi budaya, berfoto, memberi sambutan, bahkan memanfaatkan momentum tersebut untuk kepentingan pencitraan politik.
Ironisnya, setelah acara usai, mereka pulang lewat jalan yang sama—jalan rusak, berlubang, yang tiap hari dilewati masyarakat setempat tanpa sedikitpun niat untuk memperjuangkan perbaikannya.
Kepedulian tidak diukur dari kehadiran seremonial, melainkan dari tindakan nyata. Rakyat tidak butuh pejabat yang datang sekadar meresmikan acara, tetapi butuh pemimpin yang turun tangan memperjuangkan kebutuhan dasar mereka, salah satunya adalah akses jalan yang layak.
Potensi Lokal Menunggu “Gorut Bercahaya”
Sudah saatnya para tokoh politik ini berhenti menutup mata. Ketika jalan rusak tak pernah menjadi prioritas, maka setiap kunjungan pejabat hanya menjadi bentuk kemunafikan simbolis yang menyakitkan.
Tentu saja, masyarakat berharap ada perhatian serius dari pemerintah daerah. Slogan “Gorontalo Utara Bercahaya” haruslah menjadi komitmen nyata, bukan sekadar jargon yang mengisi kampanye semata.
Pemerintah daerah harus mampu membuktikan bahwa pembangunan mereka inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
Pembangunan daerah tidak akan berjalan merata dan optimal jika hanya berfokus pada wilayah tertentu saja, sementara desa-desa lain yang memiliki potensi besar justru terabaikan.
Jika Pemerintah Daerah Gorontalo Utara benar-benar menyadari pentingnya pembangunan berbasis potensi lokal, seharusnya perbaikan akses jalan ini menjadi prioritas utama.
Jangan sampai masyarakat merasa bahwa pembangunan hanya berputar pada wilayah tertentu saja, sementara desa-desa lain seperti Posono, Buata, dan Tombulilato dibiarkan berjalan di tempat.
Suara Keras dari Posono, Buata dan Tombililato
Dari suara gemetar masyarakat Posono, Buata dan Tombulilato, pemerintah Daerah Gorontalo Utara diharap bisa mengalokasikan anggaran khusus untuk perbaikan akses jalan yang menghubungkan ketiga desa tersebut, agar masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan lebih mudah dan lancar.
Pastikan seluruh proses perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan dapat diakses dan diawasi oleh masyarakat untuk menghindari penyalahgunaan anggaran, dan memastikan hasil pembangunan sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu, pemerintah daerah perlu membuat program pengembangan ekonomi kreatif dan pariwisata berbasis budaya lokal, yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan menarik wisatawan, sebab sektor ini cukup potensial jika dikelola dengan baik.
Jangan ada diskriminasi dalam distribusi pembangunan. Semua desa, termasuk yang selama ini kurang tersentuh pembangunan, harus mendapat perhatian yang setara demi kemajuan bersama.
Kepemimpinan baru di Gorontalo Utara kini diuji: apakah mampu mendengar dan bertindak, atau hanya melanjutkan kebiasaan menunda-nunda. Masyarakat tidak lagi butuh janji, mereka menanti bukti dan aksi yang kongkrit.