Kekerasan Seksual di Kota Gorontalo: Luka yang Disembunyikan, Keadilan yang Dijauhkan

Foto: Bendahara Umum HMI Komisariat FIKOM UIG Cabang Gorontalo, Magfira Dama.

Oleh: Magfira Dama

(Bendahara Umum Komisariat Fikom UIG Cab. Gorontalo)

Bacaan Lainnya

Kota Gorontalo yang dikenal sebagai pusat pendidikan dan budaya di Provinsi Gorontalo ternyata menyimpan luka mendalam yang tak kasat mata: lonjakan kekerasan seksual yang terus meningkat tiap tahunnya.

Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Gorontalo hingga Juli 2025 mencatat 31 kasus kekerasan seksual, meningkat 35% dari periode yang sama di tahun 2024. Namun dari semua laporan itu, hanya 6 kasus yang dilanjutkan ke proses peradilan.

Adapun yang mengejutkan, menurut catatan LBH Apik Gorontalo, sebagian besar korban adalah mahasiswi dan pelajar perempuan berusia 15–25 tahun, dengan pelaku berasal dari lingkungan terdekat: pacar, dosen, senior organisasi, bahkan figur publik lokal. Sebagian besar kasus tidak pernah sampai ke ranah hukum karena korban takut stigma sosial dan trauma proses hukum yang panjang dan melelahkan.

Mereka tidak diam karena tidak ingin bicara. Tapi diam karena tahu sistem tidak akan melindungi mereka. Kita hidup di kota yang lebih sibuk menjaga nama baik pelaku ketimbang memulihkan luka korban.

Apa saja akar masalah kekerasan seksual?

  1. Kultur patriarki dan normalisasi kekerasan

Hasil riset dari Koalisi Perempuan Gorontalo (2025) menunjukkan bahwa di Kota Gorontalo: 72% masyarakat masih menganggap komentar seksual atau menyentuh tubuh tanpa izin sebagai “godaan biasa”. Hanya 18% kasus yang dilaporkan secara resmi, sisanya “diselesaikan baik-baik” oleh keluarga atau institusi.

  1. Institusi yang enggan menindak

Beberapa kampus dan lembaga di Kota Gorontalo dituding memilih diam saat pelaku adalah bagian dari institusi mereka. Kasus pelecehan oleh seorang oknum dosen terhadap mahasiswi di sebuah kampus swasta, misalnya, hingga kini tidak mendapatkan sanksi tegas. Korban malah dipindahkan dan disarankan “menjaga nama baik kampus.”

  1. Minimnya sarana perlindungan dan edukasi

Pada tahun 2025, hanya ada 3 dari 20 SMA dan perguruan tinggi di Kota Gorontalo yang memiliki modul edukasi kesehatan reproduksi dan consent.

Belum ada pusat layanan terpadu yang fokus pada pendampingan korban kekerasan seksual. Korban lebih banyak mengadu ke media sosial ketimbang ke pihak berwajib, karena merasa lebih didengar.

Apa yang bisa dan harus dilakukan?

  1. Reformasi hukum dan kelembagaan

Perlu pembentukan Unit Layanan Kekerasan Seksual (ULKS) di tiap kampus dan sekolah, dengan tenaga ahli dan pendamping hukum. Kepolisian Kota Gorontalo harus membuka kanal aduan khusus untuk kasus kekerasan seksual dengan jaminan perlindungan identitas korban.

  1. Pendidikan gender dan kesadaran kolektif

Materi tentang hak tubuh, persetujuan (consent), dan bentuk-bentuk kekerasan seksual harus diwajibkan dalam kurikulum sekolah dan pelatihan organisasi. Melibatkan tokoh agama dan pemuda dalam kampanye anti kekerasan seksual agar pendekatannya inklusif dan berbasis nilai lokal.

  1. Layanan psikososial terintegrasi

Pemerintah Kota Gorontalo harus segera membangun shelter aman dan layanan konseling gratis, terutama untuk korban anak dan remaja. Mendirikan pusat krisis terpadu dengan konselor, psikolog, pendamping hukum, dan akses cepat ke rumah sakit.

Kota Ini Butuh Keberpihakan, Bukan Pembiaran

Kekerasan seksual di Kota Gorontalo bukan soal kurangnya hukum, tapi lemahnya keberanian untuk berpihak pada korban. Kita tidak bisa lagi membungkam jeritan perempuan muda yang terampas masa depannya, hanya demi menjaga citra lingkungan, lembaga, atau individu.

 

“Keadilan tidak datang hanya karena korban bicara. Ia datang ketika sistem, masyarakat, dan institusi bersedia mendengar dan bertindak.”

~Magfira Dama

 

#KotaGorontaloMelawanPelecehan

#DukungKorbanBersuara

#HukumTegasPelaku

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *